Golkar,
sehari sebelum Sidang Paripurna mengatakan, “suara Golkar adalah suara Rakyat” dan menolak naiknya harga BBM, ternyata cari aman. Menyetujui opsi kedua
dengan penambahan pasal 7 ayat 6a, memberikan ruang kepada Pemerintah
sewaktu-waktu harga BBM bisa dinaikkan. Hanya
PKS yang Konsisten dan membelot dari Partai Koalisi, menolak naiknya
harga BBM, dengan memilih opsi pertama tetap mempertahankan pasal 7 ayat
6 UU APBN. Artinya, tidak ada ruang sama sekali bagi Pemerintah untuk menaikkan
harga BBM.
Hidayat Nurwahid: karena kami tidak sejalan, kami siap jadi Partai
Oposisi bila dikeluarkan dari Koalisi. PDIP, Hanura, Gerindra dan beberapa Mahasiswa
dan aliansi buruh,
ancang-ancang gugat ke MK soal penambahan pasal 7 ayat 6a pada UU APBN 2012.
Jakarta, LACAK.
Lagi-lagi anggota dewan di Senayan yang mengaku sebagai “Wakil Rakyat” pada
sidang Paripurna membahas naik-tidaknya kenaikan harga BBM hari Jum’at (29/3)
lalu melakukan akrobatik. Hujan interupsi hingga nyaris baku hantam, sidang
ditunda hingga 6 jam, PDIP dan Hanura Walk Out, hanya menghasilkan opsi-opsi,
bukannya naik atau tidaknya harga BBM. Walaupun tidak jadi naik pada 1 April.
Rakyat tetap kecewa, karena Pemerintah bisa menaikkan harga BBM sewaktu-waktu.
Sidang yang dimulai sejak pukul 14.00 WIB itu banyak dihujani interupsi.
Sejak awal PDIP, Hanura dan Gerindra menolak kenaikkan harga BBM serta tdak ada
penambahan ayat lagi pada pasal 7 ayat 6 RUU APBN. Artinya tidak ada ruang bagi
Pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
Sementara Partai Koalisi (partai
pendukung pemerintah: PD, PAN, PKB, PPP, Golkar & PKS) mendukung kenaikkan
harga BBM dengan menyetujui penambahan ayat 6a pada pasal 7, artinya memberikan
ruang kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bila sewaktu-waktu ada kenaikkan harga minyak dunia.
Tanda-tanda perpecahan Partai
Koalisi sudah nampak saat pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi. Walaupun sama-sama menyetujui adanya tambahan ayat 6a pada pasal 7, hanya
besaran persentase ICP (harga minyak mentah Indonesdia) nya yang berbeda-beda.
PD 5 % dengan 1 bulan, PAN 15 % dengan 1 bulan, PKB 17,5 % dengan 1 bulan, PPP 10
% dengan 1 bulan, Golkar 15 % dengan 6 bulan, PKS 20 % dengan 3 bulan.
Akhirnya
Partai Koalisi merapat ke Golkar dan menyetujui penambahan pasal 7 ayat 6a.
Artinya, memberikan ruang kepada Pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan
catatan apabila ICP diatas 15 % dengan jangka waktu 6 bulan. Hanya PKS
satu-satunya Partai Koalisi yang membelot dengan memilih opsi pertama.
Sementara PDIP, Hanura dan Gerindra sejak awal menolak kenaikkan harga BBM
dengan mempertahankan pasal 7 ayat 6 dan tidak menyetujui adanya pasal tambahan
pada pasal 7 ayat 6 huruf a.
Menurut
PDIP, Hanura, Gerindra dan PKS serta beberapa pengamat hukum lainnya, UU APBN
2012 yang telah di sahkan DPR melalui sidang Paripurna adalah Inkonstitusi,
cacat hukum, karena telah memasukkan pasal tambahan yaitu pasal 7 ayat 6a.
Selain melanggar UUD 45 pasal 33 ayat 3, dan pasal 28 UU Migas sudah dianulir
oleh MK.
Menurut Enteng Nafarin SH, seorang
Advokat senior, mantan hakim, yang juga Staf Ahli LBH LACAK mengatakan, “RABPN
2012 yang telah disahkan oleh DPR, cacat hukum. Karena melanggar UUD 45 pasal
33 ayat 3 yang berbunyi: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu pasal 28 UU Migas sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK)”, ujar
Enteng.
Partai oposisi yang dikomandani PDIP, Aliansi Buruh, Mahasiswa sudah
ber-ancang-ancang menggugat, mengajukan judicial review ke MK mengenai pasal
tambahan yaitu pasal 7 ayat 6a. Untuk mendapatkan kepastian hukum, ujar
Enteng pula, pasal 7 ayat 6a UU APBN 2012, secepatnya para pihak mengajukan
Yudisial Review ke MK.
Hal ini juga dibenarkan oleh Mahfud
MD, Ketua MK. “Kami persilahkan kepada semua pihak untuk mengajukan gugatan ke MK,
dan akan kita uji, melanggar Konstitusi apa tidak, lebih cepat lebih baik, biar
mempunyai kepastian hukum dan rakyat tidak terombang-ambing”, uajar Mahfud
kepada sejumlah wartawan beberapa waktu yang lalu di Jakarta.
Yang menjadi pertanyaan. Apabila ada
beberapa pihak mengajukan gugatan ke MK, dan MK sedang memprosesnya, tahu-tahu
Pemerintah telah menaikkan harga BBM tersebut, apakah Pemerintah sudah bisa
dikatakan melanggar hukum? “Ya jelas melanggar hukum. Etikanya, harus menunggu
putusan MK dulu. Tapi ya bagaimana lagi, hukum ini kan kadang tidak adil kalau
sudah menyangkut kekuasaan”, ujar Enteng sambil tersenyum. (endy, fariji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar