Oleh: Djunaidi HarisWartawan/ LACAK Malang
Bila merujuk pada konsep
konstitusi, pengadilan bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara berdasarkan
Hukum dan Keadilan. Namun berdasarkan hasil riset beberapa Lembaga Survey,
Badan Peradilan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan
catatan ICW…….
Gak usah kaget. Sebab dari dulu
sampai sekarang tembok Badan Peradilan kita selalu jebol dari terjangan Mafia
Peradilan, Kepentingan Politik atau Kepentingan Penguasa. Fenomena tragis
ini sunguh amat bertolak belakang dengan janji-janji Penguasa pada saat itu,
“katakan tidak pada korupsi !!!”. Alangkah indahnya bila “katakan iya pada pada
korupsi !!!”.
Begitu parah dan seriusnya Tindak
Pidana Korupsi di Badan Peradilan kita membawa implikasi yang sangat jauh
hingga masyarakat cenderung main hakim sendiri maupun perbuatan contem of
court.
Ironisnya karena meski upaya
pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi saat ini diback up oleh peraturan
perundang-undangan dengan ancaman sanksi yang sangat tegas dan keras, bahkan
setidaknya ada empat lembaga formal yang berwenang menangani perkara Korupsi
(Kejaksaan, Kepolisian, KPK dan Pengadilan Tipikor), namun para Koruptor dengan
segala bentuknya ternyata masih tetap berdiri tegak seraya mendendangkan
tembang penyanyi melankolis Dian Pisesha : “Aku masih seperti yang dulu”.
Salah satu faktor penyebab kian
meluasnya perilaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia khususnya di lingkup
Badan Peradilan, karena adanya kleptokrasi yang sudah membudaya. Mulai dari
Polisi, Jaksa, Hakim, bahkan Advokat, kini terkontaminasi pola pengabdian
kleptokrasi (kesenangan mengambil/menerima penghasilan tambahan dengan cara
yang tidak terhormat) misalnya upeti, uang pelicin, biaya tambahan, suap hingga
mark-up dan lain-lain.
Meluasnya gejala kleptokrasi
dimaksud, sebetulnya merupakan buah dari kuatnya pengaruh hedonisme. Ketinggian
derajat seseorang, tidak lagi mengacu atas dasar prestasi yang mengabdi pada
keluhuran, tetapi semata-mata bertumpu pada keunggulan yang bersifat
materialistik. Akibatnya citra kehormatan yang melekat dalam diri seorang
Aparat Penegak Hukum, selalu diaktualisasikan dengan ekspresi kemewahan.
Jangankan pranata agama yang hanya mengemban seruan moral, pranata hukum yang
memiliki ikatan formal dengan sanksi tegas sekali pun, ternyata kini juga
semakin tak berdaya menghadapi terjangan Tindak Pidana Korupsi yang luar biasa
dahsyatnya.
Sadar dengan kekuatan Tindak Pidana
Korupsi seperti itu, maka institusi baru apapun menurut hemat kami tidak akan
efektif menjangkau sasaran selama modus pemberantasannya masih menggunakan
teraphy konvensional. Padahal, Tindak Pidana Korupsi dikategorikan sebagai the
white colour crime dan extra ordinary crime.
Dalam perspektif ius
constituendum (hukum yang dicita-citakan), pihak Eksekutif dan Legislatif
perlu menyusun strategi pembaharuan konsep dan wawasan pemikiran dalam
pembuatan dan penerapan ketentuan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Strategi
perubahan kultur hukum, persepsi dan sikap aparat hukum, seharusnya mengalami
pergeseran wawasan, dari paham yang positivis legalistik menuju paham realistik
paradigmatis.
Untuk mewujudkan penegakan hukum
dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbasis keadilan, dibutuhkan
morality reform aparat pelaksana dengan menekankan pada pembangunan mental,
akhlak dan integritas dengan mengedepankan nurani. Demikian pula penyamaan
persepsi antara pemerintah, masyarakat dan aparat penegak hukum tentang
strategi kebijakan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu digalakkan.
Untuk mengoptimalkan strategi
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka otoritas hukum perlu diperkuat serta
penguatan moralitas aparat. Akan lebih afdol dan efektif lagi bilamana Aparat
Penegak Hukum menerapkannya dengan asas pembuktian terbalik (shifting burden of
proof).(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar