Rabu, 11 April 2012

Koruptor: Aku Masih Seperti Yang Dulu

Oleh: Djunaidi HarisWartawan/ LACAK Malang
 Bila merujuk pada konsep konstitusi, pengadilan bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara berdasarkan Hukum dan Keadilan. Namun berdasarkan hasil riset beberapa Lembaga Survey, Badan Peradilan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan catatan ICW…….

Gak usah kaget. Sebab dari dulu sampai sekarang tembok Badan Peradilan kita selalu jebol dari terjangan Mafia Peradilan, Kepentingan Politik atau Kepentingan Penguasa. Fenomena tragis ini sunguh amat bertolak belakang dengan janji-janji Penguasa pada saat itu, “katakan tidak pada korupsi !!!”. Alangkah indahnya bila “katakan iya pada pada korupsi !!!”.
Begitu parah dan seriusnya Tindak Pidana Korupsi di Badan Peradilan kita membawa implikasi yang sangat jauh hingga masyarakat cenderung main hakim sendiri maupun perbuatan contem of court.    
Ironisnya karena meski upaya pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi saat ini diback up oleh peraturan perundang-undangan dengan ancaman sanksi yang sangat tegas dan keras, bahkan setidaknya ada empat lembaga formal yang berwenang menangani perkara Korupsi (Kejaksaan, Kepolisian, KPK dan Pengadilan Tipikor), namun para Koruptor dengan segala bentuknya ternyata masih tetap berdiri tegak seraya mendendangkan tembang penyanyi melankolis Dian Pisesha : “Aku masih seperti yang dulu”.
Salah satu faktor penyebab kian meluasnya perilaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia khususnya di lingkup Badan Peradilan, karena adanya kleptokrasi yang sudah membudaya. Mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, bahkan Advokat, kini terkontaminasi pola pengabdian kleptokrasi (kesenangan mengambil/menerima penghasilan tambahan dengan cara yang tidak terhormat) misalnya upeti, uang pelicin, biaya tambahan, suap hingga mark-up dan lain-lain.
Meluasnya gejala kleptokrasi dimaksud, sebetulnya merupakan buah dari kuatnya pengaruh hedonisme. Ketinggian derajat seseorang, tidak lagi mengacu atas dasar prestasi yang mengabdi pada keluhuran, tetapi semata-mata bertumpu pada keunggulan yang bersifat materialistik. Akibatnya citra kehormatan yang melekat dalam diri seorang Aparat Penegak Hukum, selalu diaktualisasikan dengan ekspresi kemewahan. Jangankan pranata agama yang hanya mengemban seruan moral, pranata hukum yang memiliki ikatan formal dengan sanksi tegas sekali pun, ternyata kini juga semakin tak berdaya menghadapi terjangan Tindak Pidana Korupsi yang luar biasa dahsyatnya.
Sadar dengan kekuatan Tindak Pidana Korupsi seperti itu, maka institusi baru apapun menurut hemat kami tidak akan efektif menjangkau sasaran selama modus pemberantasannya masih menggunakan teraphy konvensional. Padahal, Tindak Pidana Korupsi dikategorikan sebagai the white colour crime dan extra ordinary crime.
Dalam perspektif ius constituendum (hukum yang dicita-citakan), pihak Eksekutif dan Legislatif perlu menyusun strategi pembaharuan konsep dan wawasan pemikiran dalam pembuatan dan penerapan ketentuan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Strategi perubahan kultur hukum, persepsi dan sikap aparat hukum, seharusnya mengalami pergeseran wawasan, dari paham yang positivis legalistik menuju paham realistik paradigmatis.
Untuk mewujudkan penegakan hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbasis keadilan, dibutuhkan morality reform aparat pelaksana dengan menekankan pada pembangunan mental, akhlak dan integritas dengan mengedepankan nurani. Demikian pula penyamaan persepsi antara pemerintah, masyarakat dan aparat penegak hukum tentang strategi kebijakan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu digalakkan.
Untuk mengoptimalkan strategi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka otoritas hukum perlu diperkuat serta penguatan moralitas aparat. Akan lebih afdol dan efektif lagi bilamana Aparat Penegak Hukum menerapkannya dengan asas pembuktian terbalik (shifting burden of proof).(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar